Notification

×

Iklan

Pasang Iklan

Iklan

Pasang Iklan

Opini; Kaya Harta atau Kaya Keberkahan? Menafsirkan Ulang Pernyataan tentang Profesi Guru

| September 12, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-09-12T13:29:52Z
Pasang Iklan

Oleh; A. Nursaidah (Analis Kebijakan Kemenag Parepare)

Pernyataan Menteri Agama bahwa “kalau mau kaya jangan jadi guru, jadilah pedagang” baru-baru ini sempat menimbulkan pro dan kontra. Jika dilihat sekilas, pernyataan ini terdengar mengecilkan profesi guru. Namun, bila ditelaah dengan hati yang jernih, sesungguhnya ia mengajak kita untuk membedakan dua jenis kekayaan: kekayaan materi dan kekayaan keberkahan.


Dalam banyak tradisi keagamaan dan kebudayaan, guru selalu ditempatkan pada posisi yang mulia. Ia bukan sekadar penyampai ilmu, tetapi juga penanam nilai, pembentuk akhlak, dan penuntun jalan hidup. Guru adalah sosok yang menyalakan lilin pengetahuan meskipun dirinya perlahan habis terbakar. Dalam perspektif ini, kekayaan seorang guru tidak diukur dari jumlah harta benda, tetapi dari luasnya kebermanfaatan yang ditinggalkan.


Seorang pedagang mungkin lebih cepat mengumpulkan kekayaan materi. Jalannya adalah transaksi, kerja keras, dan perputaran modal. Itu sah dan terhormat, sebab perekonomian suatu bangsa membutuhkan pedagang dan wirausahawan yang tangguh. Namun, guru bekerja dalam dimensi yang berbeda: menanamkan pengetahuan, menyalurkan kebijaksanaan, serta menggerakkan hati dan pikiran. Kekayaan mereka tidak selalu tampak, tetapi hidup dalam doa murid, karya generasi penerus, dan nilai-nilai yang diwariskan lintas zaman.


Banyak ajaran agama mengajarkan bahwa kekayaan sejati tidak hanya terletak pada apa yang bisa kita genggam, tetapi pada apa yang bisa kita bagi. Dalam tradisi Kristen, misalnya, terdapat ajaran bahwa “lebih berbahagia memberi daripada menerima.” Dalam filsafat Timur, seperti dalam ajaran Buddha dan Konfusianisme, kebijaksanaan dan welas asih jauh lebih tinggi nilainya daripada harta. Dalam tradisi Islam, ada keyakinan bahwa ilmu yang bermanfaat adalah amal jariyah yang tidak akan terputus. Semua itu menegaskan bahwa kekayaan rohani, meskipun tidak kasat mata, adalah harta yang paling abadi.


Pepatah Bugis juga mengingatkan kita: “Naletei pammasenae ri Dewata, nasaba’ mateppai pammase DewataE, nasaba’ mateppai ada’na to matoa.” Artinya, pengharapan rezeki sejatinya hanya bergantung kepada Yang Maha Kuasa, karena hanya Dia yang memberi rahmat dan meneguhkan martabat manusia. Pesan ini sejalan dengan hakikat guru yang bekerja dengan penuh keikhlasan, menanam benih keberkahan yang hasilnya sering kali baru dirasakan jauh di kemudian hari.


Namun, menekankan nilai keberkahan tidak berarti mengabaikan kebutuhan nyata seorang guru. Mereka tetaplah manusia yang membutuhkan kehidupan yang layak. Keikhlasan dan dedikasi tidak boleh dijadikan alasan untuk membiarkan guru hidup dalam kekurangan. Oleh sebab itu, peran negara dan masyarakat menjadi penting untuk menyeimbangkan antara kemuliaan spiritual dan kesejahteraan material. Guru harus dihargai bukan hanya dengan ucapan terima kasih, tetapi juga dengan penghargaan yang konkret dalam bentuk kesejahteraan.


Pernyataan Menteri Agama tersebut, bila dimaknai lebih dalam, sebetulnya bukanlah pelemahan terhadap profesi guru, melainkan pengingat bahwa jalan guru adalah jalan keberkahan. Jalan ini mungkin tidak menjanjikan harta melimpah, tetapi ia melahirkan kekayaan lain: kekayaan doa, kebermanfaatan, dan keberkahan hidup yang dirasakan lintas generasi.


Pada akhirnya, masyarakat yang bijak tidak akan mempertentangkan antara guru dan pedagang. Keduanya adalah pilar peradaban: pedagang menggerakkan roda ekonomi, sementara guru menggerakkan roda pengetahuan dan moralitas. Harta memang penting untuk kehidupan, tetapi keberkahanlah yang membuat hidup benar-benar berarti.

Pasang Iklan


Pasang Iklan


Pasang Iklan


Pasang Iklan


×
Berita Terbaru Update