Notification

×

Iklan

Pasang Iklan

Iklan

Pasang Iklan

Kolom; Jeritan Luka 1998: Sejarah Berdarah Kekerasan Seksual yang Disangkal

| Juni 22, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-22T07:26:52Z
Pasang Iklan
Nur Jamilah Ambo 


Penulis: Nur Jamilah Ambo 

Perempuan kembali merintih. Bibir pahit seorang menteri menghianati luka banyak perempuan, tak cukup dengan kekerasan seksual yang pernah terjadi pada kerusuhan Mei 1998, mengingkari sejarah adalah kekerasan kedua bagi perempuan. Ada luka, darah, dan air mata yang hanya menjadi sangkalan, dan dianggap sebagai rumor belaka.


Menteri Kebudayaan pada suatu wawancara mengklaim bahwa perkosaan massal tahun 1998 tidak memiliki bukti kekerasan terhadap perempuan. Katanya hal itu hanyalah rumor karena tidak tercatat dalam buku sejarah. Padahal buku sejarah Indonesia banyak manipulasinya. Sungguh ironis, jika realitas hanya diakui apabila tercantum dalam buku sejarah.

 

Buku sejarah kita memiliki tabiat aneh, tak diajarkan di sekolah apabila tidak mencerminkan contoh perjuangan. Pena para penulis buku sejarah hanya menuliskan keburukan warga negara asing yang menjarah warga asli Indonesia. Bila anak bangsa sendiri berbuat kacau kepada warga asing, buku sejarah tak dilegalkan mencatatnya. 


Perkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa mengapa disangkal? Tangis dan jeritan mereka rasakan namun disebut rumor. Ada anak yang lahir dari korban perkosaan tersebut yang hidup tanpa mengetahui siapa ayahnya, tetapi dianggap tidak terbukti. Ini luka kolektif yang tidak bisa dibantah, hanya karena tidak tercatat dalam pembelajaran sejarah. 


Tragedi Mei 1998 adalah masa terjadinya krisis keuangan. Masyarakat panik, subsidi BBM dicabut, dan nilai rupiah anjlok. Kalangan ekonomi menengah ke atas melakukan kecurangan perdagangan. Proyek-proyek prasarana berhenti dibangun. Situasi sulit dan keadaan memburuk. 


Terjadi aksi demo besar-besaran oleh mahasiswa dan masyarakat untuk menurunkan Presiden Soeharto dari jabatannya. Warga mengamuk, rumah dan toko-toko warga etnis Tionghoa dibakar. Dan ditengah kerusuhan itulah, terjadi perkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa. Namun tak ada yang menyangkal krisis keuangan 1998 di Indonesia, tetapi perkosaan massal mengapa disangkal seenaknya. 


Perempuan etnis Tionghoa, rumah-rumah mereka dihampiri lalu diperkosa. Di jalan, mereka dicegat lalu diperkosa. Mereka diculik, diperkosa ramai-ramai. Ada yang dibunuh dan ada pula dibiarkan hidup menanggung malu. Beberapa aksi perkosaan disaksikan oleh banyak warga, namun mereka tak mampu berbuat apa-apa selain diam karena ancaman pelaku.


Korban tak hanya warga etnis Tionghoa, tetapi banyak anak-anak dan remaja pribumi yang ikut menjadi korban. Mahasiswi Indonesia juga diperkosa. Keluarga para korban ini, tidak ada pilihan untuk melupakan trauma batin mereka. Tak hanya itu, ada juga korban yang dititah bunuh diri oleh ayahnya sendiri karena malu dengan aib yang dibawa anaknya kepada keluarga.


Insiden traumatis seperti itu, tidak masuk dalam buku sejarah anak sekolahan. Siapa yang ingin aibnya dicatat dan diabadikan dalam buku sejarah sekolah? Tidak ada. Tetapi, ada buku yang tetap menuliskannya, buku bacaan untuk mahasiswa dan aktivis, bukan untuk bacaan anak sekolahan karena akan berdampak pada pendidikan moral. Mirisnya, bapak menteri hanya menganggap valid kisah pada buku sejarah anak sekolah.


Menteri kebudayaan yang terhormat, belumkah membaca buku karya Dewi Anggraeni yang berjudul “Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan?" Sejarah kelam yang dilengkapi banyak data, ada potret-potret sebagai bukti, ada tanggal dan waktu sebagai prasyarat disebutnya kejadian itu menjadi sejarah. Jangan lagi dinafikan karena ini fakta. 


Komite Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) lahir dari peristiwa berdarah kerusuhan 1998. Ia tidak lahir dari isu kosong. Pasca runtuhnya kekuasaan presiden Soeharto, Bapak presiden BJ Habibie terpilih sebagai presiden dan beliau sendiri yang melegalkan Komnas Perempuan. Merekalah yang berjuang mengumpulkan bukti dan merawat para korban. 


Total korban kekerasan seksual pada kerusuhan Mei 1998 sebanyak 168 korban. 20 diantaranya meninggal dan yang masih hidup menderita luka fisik dan psikis. Para korban ini tidak hanya diperkosa, mereka dianiaya, dibakar, dan dibunuh.


Siapapun tak akan sanggup mengisahkan sejarah kelamnya, apalagi jika diajarkan di dunia pendidikan anak-anak sekolah. Tetapi tak meniscayakan peristiwa ini disangkal oleh bibir seorang menteri. 


Mengingkari kekerasan seksual dalam tragedi Mei 1998 bukan sekadar kekeliruan sejarah, melainkan bentuk kekerasan lanjutan terhadap para korban. Pernyataan seorang pejabat negara yang menyebut peristiwa pemerkosaan massal itu sebagai "rumor" menunjukkan kurangnya empati dan pemahaman atas luka para perempuan.


Perempuan bukan mainan, bukan pula media hiburan. Kesucian perempuan adalah simbol kesucian negara. Menganggap kekerasan seksual pada kerusuhan Mei 1998 tidak terbukti adalah tindak mempermainkan perempuan, hanya karena buku sejarah tidak mencatatnya. 


Realitas kekerasan tidak harus menunggu pengakuan buku sejarah yang seringkali manipulatif. Ia hidup dalam tubuh, trauma, dan ingatan para penyintas. Sudah seharusnya negara hadir bukan untuk menyangkal, tapi untuk mengakui, merawat, dan memastikan tragedi serupa tak akan terulang lagi.


Menghapus kebenaran adalah bentuk kekerasan yang lain dan bangsa yang besar tidak lahir dari penyangkalan, melainkan dari keberanian menghadapi sejarahnya sendiri.

Pasang Iklan


Pasang Iklan


Pasang Iklan


Pasang Iklan


×
Berita Terbaru Update